Buku Catatan yang Terlupa
Seira menghela napas panjang, natap tumpukan buku di mejanya. Matematika. Lagi-lagi matematika. Angka-angka itu nari-nari di hadapannya, ngebentuk pola yang nggak pernah dia pahami. Dia itu Seira, siswi kelas XI IPA yang biasa-biasa aja. Nilainya cukup, nggak menonjol, nggak juga terpuruk. Dia punya banyak temen, suka ngobrol, dan lebih milih ngabisin waktu di kantin daripada di perpus.
Di sisi lain ruang kelas, duduk Hito. Kacamata nangkring rapi di hidungnya, rambut hitamnya selalu tersisir sempurna. Hito itu kebanggaan sekolah, juara olimpiade sains, dan selalu jadi yang teratas di setiap mata pelajaran. Dia pendiem, jarang keliatan bercanda, dan buku-buku tebel adalah temen setianya. Seira dan Hito, dua kutub yang beda banget, nyaris nggak pernah interaksi, kecuali saat mereka nggak sengaja papasan di koridor atau saat guru minta Hito bantu temen-temennya yang kesulitan.
Suatu sore, setelah jam tambahan fisika, Seira buru-buru beresin tasnya. Dia ada janji sama temen-temennya buat latihan drama. Dalam ketergesaan itu, dia nggak nyadar sebuah buku catatan tebel jatuh dari mejanya. Buku itu warna biru tua, dengan tulisan tangan rapi di sampulnya: "Fisika Kuantum & Mekanika Klasik."
Beberapa menit kemudian, Hito balik ke kelas buat ngambil botol minumnya yang ketinggalan. Matanya yang tajem langsung nangkap buku catatan biru itu. Dia mungutnya, ngernyitin dahi. Ini jelas bukan buku catatan Seira; gaya tulisannya terlalu rapi, isinya terlalu kompleks buat siswi yang dia tahu sering ngeluh tentang fisika. Tapi, dia ngenalin coretan kecil di sudut halaman pertama: sketsa bunga matahari yang persis kayak yang sering digambar Seira di buku pelajarannya.
Keesokan harinya, Seira panik. Buku catatan fisika miliknya, yang dia pinjem dari perpus dan udah dia tambahin beberapa catatan penting, ilang. Dia nyari di seluruh tasnya, di lokernya, bahkan nanya ke temen-temennya. Nihil.
Saat jam istirahat, dia ngeliat Hito jalan ke arahnya, dengan buku catatan biru di tangannya.
"Ini punya lo?" tanya Hito datar, nyodorin buku itu.
Seira kaget. "Astaga, iya! Makasih banyak ya, Hito. Gue panik banget." Dia ngambil buku itu, tapi tiba-tiba dia nyadar sesuatu. "Tunggu, ini bukan buku catatan gue. Ini... ini buku catatan lo, kan?"
Hito sedikit kaget. Dia ngira Seira bakal langsung ngambilnya. "Gue nemuinnya di meja lo kemarin. Gue kira lo nggak sengaja ninggalinnya."
Seira bolak-balik halaman buku itu. Tulisan tangan Hito yang rapi, rumus-rumus kompleks, dan diagram yang jelas. Dia ngerasa sedikit malu karena Hito pasti ngira dia secerewet itu tentang fisika. "Maaf, gue... gue kira ini buku gue yang ilang. Gue pinjem buku yang sama dari perpus." Dia senyum canggung. "Tapi, wow. Catatan lo rapi banget. Gue nggak ngerti setengah dari ini."
Hito natap dia. Ada sedikit senyum tipis di sudut bibirnya. "Kalo lo mau, gue bisa bantu ngejelasin. Beberapa konsep dasar mungkin bisa gue bantu."
Seira natap Hito, kaget. Ini adalah tawaran yang nggak pernah dia duga dari siswa paling pinter dan pendiem di sekolah. "Beneran? Gue nggak mau ngerepotin lo."
"Nggak masalah," jawab Hito, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Lagian, gue juga perlu ngelatih cara ngejelasin. Terkadang, gue terlalu fokus sama rumus sampe lupa gimana nyampeinnya dengan sederhana."
Mulai hari itu, Seira dan Hito punya rutinitas baru. Setiap pulang sekolah, mereka bakal duduk di perpus atau di bangku taman belakang sekolah. Hito dengan sabar ngejelasin konsep-konsep fisika yang rumit, sementara Seira dengerin dengan penuh perhatian, sesekali nyelipin pertanyaan-pertanyaan yang bikin Hito harus mikir dari sudut pandang yang beda.
Seira nemuin kalo di balik kacamata dan buku-buku tebel itu, Hito adalah seseorang yang sabar dan punya cara pandang yang unik. Hito, di sisi lain, mulai nikmatin interaksi sama Seira. Tawa Seira yang lepas, pertanyaannya yang polos tapi terkadang tajem, dan semangatnya yang nggak pernah padam, bikin Hito ngerasa dunia nggak cuma tentang angka dan rumus.
Buku catatan yang terlupa itu, yang awalnya cuma kesalahpahaman kecil, ternyata jadi jembatan yang ngehubungin dua dunia yang beda. Seira mulai sedikit lebih pahamin fisika, dan Hito mulai sedikit lebih pahamin arti pertemanan dan berbagi. Di antara rumus-rumus dan tawa renyah, mereka nemuin kalo terkadang, hal-hal paling nggak terduga bisa ngebawa mereka pada pelajaran yang paling berharga.
Komentar
Posting Komentar